Dalam artikel kali ini dijelaskan tentang Fiqih Thaharah Bersuci dari Hadas dan Najis, Bersuci atau dalam bahasa arab disebut thaharoh dimana merupakan bagian dari prosesi ibadah umat Islam yang bermakna menyucikan diri yang mencakup secara lahir atau batin.
Kedudukan bersuci dalam hukum Islam termasuk ilmu dan amalan yang penting, terutama karena di antara syarat-syarat salat telah ditetapkan bahwa seseorang yang akan mengerjakan shalat diwajibkan suci dari hadas dan suci pula badan, pakaian, dan tempatnya dari najis.
Firman Allah:
“ “… dan Allah menurunkan air atas kamu sekalian dari langit agar kalian menyucikan diri dengannya… (QS Al-Anfaal [8]:11)” ”
“ Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (QS. Al-Baqarah [2]:222) ”
Daftar Isi
Fiqih Thaharah Bersuci dari Hadas dan Najis
Bersuci hukumnya wajib bagi seorang Muslim yang akan melaksanakan shalat, untuk itu perlu bagi seorang Muslim untuk memahami perkara-perkara perihal bersuci dari hadas dan najis
Pengertian Thaharah
Secara bahasa thaharah artinya membersihkan kotoran, baik kotoran yang berwujud maupun yang tak berwujud. Kemudian secara istilah, thaharah artinya menghilangkan hadas, najis, dan kotoran (dari tubuh, yang menyebabkan tidak sahnya ibadah lainnya) menggunakan air atau tanah yang bersih.
Sedangkan pengertian menurut hukum Syara‘, thaharah artinya suci dari hadas dan najis.
Perkara Bersuci
Perihal bersuci meliputi beberapa perkara berikut:
- Alat bersuci, seperti air, tanah, dan sebagainya
- Kaifiat (cara) bersuci
- Jenis najis yang perlu disucikan
- Benda yang wajib disucikan
- Sebab-sebab atau keadaan yang menyebabkan wajib bersuci
Jenis Thaharah
Thaharah terbagi menjadi dua, secara batin dan lahir, keduanya termasuk di antara cabang keimanan.
1. Thaharah bathiniyah ialah menyucikan diri dari kotoran kesyirikan dan kemaksiatan dari diri dengan cara menegakkan tauhid dan beramal saleh.
2. Thaharah lahiriyah ialah menyucikan diri menghilangkan hadats dan najis.
Najis Dan Pengertianya
Najis adalah segala sesuatu yang dianggap kotor secara syar’i, dimana seorang muslim harus bersih darinya dan mencucinya jika suatu yang najis itu mengenainya.
HUKUM ASAL SEGALA SESUATU ITU ADALAH MUBAH DAN SUCI
Segala sesuatu yang ada di muka bumi ini pada dasarnya adalah mubah dan tidak najis, maka siapapun yang mengatakan benda tertentu adalah najis, ia harus mendatangkan dalil, jika terbukti tidak ada dalil yang menunjukkan kenajisannya maka harus dikembalikan kepada hukum asal.
Najis merupakan kotoran yang wajib dijauhi dan wajib dibersihkan bila terkena badan seorang Muslim.Hukum asal dari suatu benda adalah bersih dan boleh dimanfaatkan, hingga kemudian (apabila) didapatkan adanya dalil yang menyatakan kenajisannya (maka dia dihukumi najis).
Najis dibedakan menjadi 3, yaitu:
- Najis mukhaffafah (najis ringan)
Najis ini dapat dihilangkan hanya dengan memercikan air (mengusap dengan air pada benda yang terkena najis. contoh najis mukhaffafah yaitu air kencing bayi laki-laki yang belum makan apapun kecuali air susu ibu. - Najis mutawassitah (najis Sedang)
Cara menghilangkan najis ini adalah dengan cara mencucinya sampai hilang warna, bau, rasa, zat, dan sebagainya hilang. contoh najis mutawassitah adalah bangkai, darah, nanah, air kencing manusia, kotoran manusia, dan lain-lain. - Najis mugallazah (najis berat)
Contoh najis mugallazah adalah jilatan anjing dan babi. jika terkena ini, maka cara menghilangkannya adalah dengan membasuh dengan air mengalir sebanyak 7 kali yang di sela-selanya diusap dengan debu (air tanah).
Benda-benda Najis Sesuai syar’i
Berikut ini adalah benda-benda najis seuai syari dalam tinjauan fiqih thaharah
1. Tinja dan Air Seni Manusia
Dalil ;
” jika salah seorang diantara kalian menginjak dengan sandalnya sesuatu yang najis (tinja manusia) maka tanah berikutnya mensucikannya. (HR. Abu Daud, sanad shahih)
Secara umum hadits-hadits tentang perintah istinja’ juga menunjukkan akan najisnya tinja manusia.
Adapun najisnya air seni ditunjukkan oleh hadits yang mengisahkan orang badui yang kencing dipojokan masjid. Setelah usai, Rasullah meminta diambilkan seember air untuk menyiram air kencingnya. (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Madzi dan Wadi
Madzi adalah air yang keluar dari kemaluan, air ini bening dan lengket. Cairan ini keluar dari kemaluan disebabkan syahwat yang muncul ketika seseorang memikirkan atau membayangkan jima’ atau ketika pasutri melakukan “foreplay”.
Air madzi keluar dengan tidak memancar, bahkan terkadang seorang tidak merasakan keluarnya. Keluarnya air ini tidak menyebabkan seseorang menjadi lemas (tidak seperti keluarnya air mani, yang pada umumnya menyebabkan tubuh lemas).
Air madzi dapat terjadi pada laki-laki dan wanita, meskipun pada umumnya lebih banyak terjadi pada wanita.
Para ulama sepakat mengatakan bahwa air madzi adalah najis, sebagaimana dikuatkan dalam hadits Ali bin Abi Thalib ketika beliau bertanga tentang madzi
Rasullah shallallahu alaihi wassalam bersabda ; “Hendaknya ia mencuci kemaluannya dan berwudhu.” (HR. Bukhari Muslim)
Adapun wadi adalah cairan bening agak kental yang keluar setelah kencing.
Para ulama juga sepakat akan kenajisannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas;
“Adapun madzi dan mani maka cucilah kemaluanmu lalu berwudhulah sebagaimana wudhu untuk shalat.” (HR. Al Baihaqi, dishahihkan oleh Syeikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
3. Darah Haidh
Dalil;
Hadits Asma bintu Abi Bakr ketika beliau betanya Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang darah haidh yang mengenai pakaian. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menjawab; ” “Keriklah darah itu terlebih dahulu, kucek dengan air, lalu bilaslah. Setelah itu (kamu boleh) memakainya untuk shalat.” (HR. Al-Bukhari Muslim)
4. Kotoran Binatang Yang Dagingnya Haram Dimakan
Dalil;
Hadits Ibnu Mas’ud, Ketika Nabi shallallahu alaihi wassalam hendak buang hajat, beliau berkata; “Bawakanlah untukku tiga batu!”, akupun menemukan 2 batu dan kotoran keledai (yang sudah kering), lantas Beliu mengambil 2 batu itu dan membuang kotoran keledai, seraya mengatakan, “kotoran keledai itu najis”. (HR. Bukhari).
Hadits ini menunjukkan bahwa kotoran dari hewan yang dagingnya tidak boleh dimakan adalah termasuk benda najis.
5. Air Liur Anjing
Hadits Abi Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; mensucikan bejana yang terkena jilatan anjing adalah dengan mencucinya 7 kali dan pertamanya dengan debu. (HR. Muslim)
6. Bangkai
Sedangkan bangkai adalah makhluk bernyawa yang mati dengan sendirinya tanpa disembilih secara syar’i.
Dalilnya : sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam; “Jika kulit bangkai itu disamak, maka ia akan menjadi suci.” (HR. Muslim)
Mafhum hadits ini menunjukkan akan najisnya bangkai. Akan tetapi ada pengecualian dalam masalah ini, yakni ada beberapa bangkai yang tetap suci, yaitu;
a. Bangkai Ikan Dan Belalang.
Dengan dasar sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam, “Telah dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah, adapun dua bangkai adalah bangkai ikan dan belalang, adapun dua darah adalah hati dan limpa.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad dengan sanan shahih)
b. Bangkai Dari Binatang Yang Tidak Memiliki Darah Mengalir
Seperti; Lalat, lebah, semut dll. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang lalat, Beliau bersbda;
“Jika ada lalat jatuh ke salah satu bejana kalian, maka tenggelamkanlah seluruh bagiannya kemudian baru dibuang, karena pada salah satu sayapnya itu ada penyakitnya namun pada sayap yang lainnya terdapat penawarnya.” (HR. Al Bukhari)
c. Tulang, Tanduk, Kuku, Rambut dan Bulu Dari Hewan Yang Mati
Semua ini itu tetap suci berdasar hukum asal, sebagaimana imam Al Bukhari menyebutkan riwayat dari Iamam Az Zuhri, tentang tulang dari bangkai gajah dan lainnya beliau mengatakan, “Aku mendapati manusia dari kalangan ulama salaf menjadikannya sisir, dan menaruh minyak padanya, yang demikian itu tidak mengapa bagi mereka. (Shaih Al Bukhari 1/342)
Hammad juga mengatakan, “Tidak mengapa menggunakan bulu dari binatang yang mati.”
7. Daging Yang Dipotong Dari Binatang Yang Masih Hidup
Misal; kuping atau kaki kambing yang dipotong dari kambing yang masih hidup.
Hal ini berdasar sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam; “Apa saja yang dipotong dari binatang yang masih hidup maka ia dihukumi bangkai.” (HR. At Tirmizi, Abu Daud dan Ibnu Majah).
Inilah benda-benda najis yang ditunjukkan oleh dalil.
Jenis Air dan Pembagiannya
Air yang dapat digunakan untuk bersuci haruslah air yang bersih, suci lagi menyucikan.Air tersebut bisa berasal dari langit (hujan) maupun berasal dari Bumi (air tanah dan air laut) yang masih murni dan belum pernah digunakan (bukan bekas pakai).
Jenis Air Yang Mensucikan
Jika ditelaah dari jenis-jenisnya, air yang bersih, suci, lagi menyucikan ada 7 jenis, yaitu:
- Air hujan
- Air laut
- Air (yang berasal dari lelehan) salju
- Air embun
- Air Sumur (Mata air)
- Air Telaga
- Air Sungai
Diantara dalilnya adalah firman Allah ta’ala;
ﻭَﺃَﻧْﺰَﻟْﻨَﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ ﻣَﺎﺀً ﻃَﻬُﻮﺭًﺍ
Dan kami turunkan dari langit air yang suci dan mensucikan (Q.S Al Furqan : 48)
Nabi Shallallahu Alaihi wasallam juga bersabda tentang air laut;
هو الطهور ماؤه، الحل ميتته
Laut itu airnya suci dan halal bangkainya. (HR. Ibnu Majah dan lainya)
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang sumur;
إن الماء طهور لا ينجسه شيء
Air itu suci tidak ada sesuatu yang menjadikannya najis (HR. Abu Daud, Tirmizi, dinyatakan shahih oleh syeikh Al Albani)
Pada dasarnya semua itu suci dan mensucikan selama ia masih berada pada sifat aslinya dan tidak berubah.
Jika air itu telah berubah warnanya atau baunya atau rasanya karena tercampuri sesuatu yang najis maka ia menjadi najis sebagaimana ijma’ ulama.
Jika salah satu sifatnya berubah tapi karena tercampur dengan zat yang tidak najis (seperti teh, sabun, bidara, dll) maka;
- Tetap suci dan mensucikan selama zat itu tidak dominan pada air itu dan tidak menjadikannya keluar dari sebutannya secara mutlak, yakni manusi masih menyebutnya dengan air.
- Suci tapi tidak bisa mensucikan, yaitu ketia zat yang mencampurinya itu lebih dominan, sehingga manusia tidak lagi menyebutnya dengan sebutan air secara mutlaq, seperti.
Wallahu ta’ala a’lam bish shawab.
Hukum Air Dalam Fiqih Thaharah
Sementara itu selain jenis-jenis air, menurut hukum Islam air itu sendiri dibagi menjadi empat golongan, yaitu:
1. Air Muthlaq.
Air ini dapat pula disebut sebagai air murni, karena hukumnya suci dan menyucikan, dan tidak makruh untuk digunakan bersuci.
2. Air Musyammas.
Air ini adalah air yang dipanaskan dengan sinar matahari di tempat (wadah) yang tidak terbuat dari emas.Hukum air ini adalah suci lagi menyucikan, namun hukumnya makruh untuk digunakan bersuci.Ada pula ulama yang memakruhkan air yang memang sengaja dipanaskan dengan api.
3. Air Musta’mal.
Air ini adalah air bekas menyucikan hadas dan najis. Walaupun air ini tidak berubah rasanya, warnanya, serta baunya, bahkan sebenarnya air ini masih bersih dan suci. Akan tetapi air ini tidak dapat digunakan untuk bersuci.
4. Air Mustanajjis.
Air ini adalah air yang sudah terkena atau tercampur dengan najis, sedangkan volumenya kurang dari dua qullah (sekitar 216 liter).
Hukum bersuci menggunakan air ini adalah tidak boleh sama sekali, karena tidak suci dan tidak menyucikan. Namun apabila volumennya lebih dari dua qullah dan tidak merubah sifat airnya (bau, rasa, dan warna), maka air itu boleh digunakan untuk bersuci.
Air yang bercampur dengan barang yang suci. Air ini adalah air muthlaq pada awalnya, kemudian air ini tercampur (kemasukkan sesuatu) dengan barang yang sebenarnya tidak najis, misalkan sabun tau bahan makanan. Air seperti ini hukumnya tetap suci, namun jika sifat air sudah berubah sifat, rasa, bau, dan warnanya, maka air tersebut menjadi tidak bisa digunakan untuk bersuci.
Dari semua jenis-jenis air diatas, ada satu jenis air lagi yang suci tetapi haram digunakan untuk bersuci. Air yang dimaksud di sini ialah air yang didapat dengan cara ghahsab atau mencuri (mengambil atau memakai tanpa izin).
Cara Mensucikan Hadas Dan Najis
Syariat Islam telah memberitakan kepada manusia benda-benda yang najis, selanjutnya syariat pun mengajari kita bagaimana cara mensucikan benda-benda yang terkena najis. Maka kewajiban kita adalah mengikuti cara yang telah ditetapkan dalam syariat Islam ini;
➡ Jika syariat memerintahkan untuk mencuci hingga tidak tersisa warna, bau dan rasanya maka itulah kaifiyyah mensucikannya.
➡ Jika syariat hanya memerintahkan untuk menyiram, memercikkan, mengerik atau hanya mengusapkannya di tanah, atau bahkan hanya untuk berjalan di atas tanah, maka itulah kaifiyyah mensucikannya.
Perlu diketahui, bahwa pada dasarnya najis itu hanya bisa disucikan dengan air, sehingga tidak boleh mengganti air dengan yang lainnya kecuali ada dalil yang menunjukkannya.
Berikut tata cara mensucikan benda najis atau benda yang terkena najis sesuai yang diajarkan syariat Islam;
1. Mensucikan kulit dari bangkai
yang dimaksud dengan bangkai disinai adalah binatang yang mati tanpa disembelih terlebih dahulu. Maka cara mensucikannya adalah dengan cara disamak (dibagh) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi wasallam;
ﺇِﺫَﺍ ﺩُﺑِﻎَ ﺍﻹِﻫَﺎﺏُ ﻓَﻘَﺪْ ﻃَﻬُﺮَ
“Apabila kulit telah disamak, maka sungguh ia telah suci.” (HR. Muslim)
Secara umum cara menyamak kulit binatang adalah sbb :
- Terlebih dahulu kulit dipisahkan dari anggota badan binatang.
- Dicukur semua bulu-bulu dan dibersihkan segala urat-urat dan lendir-lendir daging dan lemak yang melekat pada kulit.
- Kemudian direndam kulit itu dengan air yang bercampur dengan benda-benda yang menjadi alat penyamak (seperti garam) sehingga lemak-lemak, daging dan lendir yang
melekat di kulit terpisahkan. - Kemudian diangkat dan dibasuh dengan air yang bersih dan dijemur hingga kadar airnya sedikit alias kering.
2. Mensucikan bejana yang dijilat anjing.
Yaitu dengan mencucinya 7 kali dengan air, salah satunya adalah dengan debu (baik pertama kali atau salah satu di antara 7 bilasan itu)
Dalam masalah ini Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda;
”Sucinya bejana kamu yang dijilat anjing adalah dengan cara mencucinya sebanyak tujuh kali, dan yang pertama dengan tanah.” (HR.Muslim). Dan dalam suatu lafazhnya “Hendaklah ia membuang air yang di bejana tersebut”. Dan dalam riwayat Tirmidzi dengan lafazh “Salah satu bilasannya dengan tanah atau yang pertamanya”).
3. Mensucikan pakaian yang terkena darah haidh.
Dari Asma’ binti Abi Bakar, ia berkata, “Salah seorang perempuan datang menemui Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata, ‘Salah seorang di antara kami bajunya terkena darah haid, apa yang mesti dilakukan?’ Beliau menjawab, “Hendaknya ia mengorek darah tersebut, kemudian menggosoknya (menyikatnya) dengan siraman air. Setelah itu, pakaian tersebut dapat digunakan untuk shalat’!”. (HR. Bukhari Muslim)
Lalu Jika bekas darah haidhnya itu masih ada dan tidak bisa hilang bagaimana ????
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata : Khaulah bertanya : “Ya Rasulullah, bagaimana kalau darah itu
tidak hilang? Rasulullah bersabda : “cukup bagimu mencucinya dengan air, dan tidak mengapa dengan bekasnya”. (HR. Abu Daud).
Namun jika ada pembersih lain seperti sabun, deterjen dan pembersih lainnya maka itu lebih baik, sebagaimana hadits Qais binti Mihshan, ketika ia bertanya tentang darah haidh yang mengenai dipakaian. Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda;
Gosoklah (sikat) dengan kayu lalu cucilah ia dengan air yang dicampur daun bidara. (HR. Abu Daud).
4. Mensucikan madzi dan wadi
Cara membersihkan madzi dan wadi adalah dengan mencuci kemaluan, berdasarkan riwayat dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang menyuruh Miqdad bin al-Aswad radhiyallahu ‘anhu untuk bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam perihal dirinya yang sering mengeluarkan madzi, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻳﻐـﺴﻞ ﺫﻛﺮﻩ ﻭﻳﺘـﻮﺿﺄ
“(Hendaklah) dia mencuci kemaluannya dan berwudhu’.” (HR. Bukhari Muslim)
Apabila air madzi itu mengenai pakaian, maka cukup dibersihkan dengan menyiramkan air setelapak tangan ke pakaian yang terkena madzi tersebut. Hal ini berdasarkan riwayat Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu , dia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai madzi yang mengenai pakaiannya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
ﻳﻜﻔﻴﻚ ﺃﻥ ﺗﺄﺧﺬ ﻛﻔﺎ ﻣﻦ ﻣﺎﺀ ﻓﺘـﻨﻀﺢ ﺑﻪ ﺛﻮ ﺑﻚ ﺣﻴﺚ ﺗﺮﻯ
ﺃﻧﻪ ﻗﺪ ﺃﺻﺎﺏ ﻣﻨﻪ
“Cukuplah bagimu mengambil air satu telapak tangan, lalu tuangkanlah ke pakaianmu (yang terkena madzi) sampai engkau lihat air tersebut mengenainya (membasahinya). ” (Hadits Hasan, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Demikianlah artikel tentang Fiqih Thaharah Bersuci dari Hadas dan Najis, semoga bermanfaat bagi kita semua.
Artikel lengkap belajar alquran id bisa dilihat dihalaman sitemap